Rabu, 21 Maret 2012

VICTIMOLOGY


A. Viktimologi
1. Pengertian Viktimologi
Buku Masalah Korban kejahatan karangan Arif Gosita diberikan penjelasan mengenai arti Viktimologi, dalam buku tersebut menyebutkan bahwa “Viktimologi adalah suatu pengetahuan ilmiah/studi yang mempelajari viktimisasi (criminal) sebagai suatu permasalahan manusia yang merupakan suatu kenyataan social.” Viktimologi berasal dari kata Latin victima yang berarti korban dan logos yang berarti pengetahuan ilmiah atau studi.
Buku Bunga Rampai Viktimisasi karangan JE.Sahetapy dan kawan-kawan menjelaskan bahwa Viktimilogi merupakan istilah yang berasal dari bahasa latin “Victima” yang berarti korban dan “logos” yang berarti ilmu, merupakan suatu bidang ilmu yang mengkaji permasalahan korban beserta segala aspeknya.
Pengertian lain dari Viktimologi adalah suatu study atau pengetahuan ilmiah yang mempelajari masalah korban kriminal sebagai suatu masalah manusia yang merupakan suatu kenyataan sosial. Dan viktimologi merupakan bagian dari kriminologi yang memiliki obyek study yang sama, yaitu kejahatan atau korban kriminal (http://replaz.blogspot.com/2008/09/viktimologi.html).
Sedangkan dalam website knowledgerush disebutkan bahwa Victimologi yaitu.
Victimology is the study of why certain people are victims of crime and how lifestyles affect the chances that a certain person will fall victim to a crime. The field of victimology can cover a wide number of disciplines, including sociology, psychology, criminal justice, law and advocacy” (http://www.knowldgerush.com).
Dalam website exampeleessay yang juga membahas tentang Viktimilogi memberikan pengertian bahwa “Victimology is the scientific study of crime victims, focuses on the physical, emotional, and financial harm people suffer at the hands of criminals”.
Wikipedia yang merupakan salah satu website terbesar di dunia juga memberikan definisi mengenai viktimologi, yaitu:
Victimology is the scientific study of victimization, including the relationships between victims and offenders, the interactions between victims and the criminal justice system that is, the police and courts, and corrections officials and the connections between victims and other social groups and institutions, such as the media, businesses, and social movements” ( http://www.wikipedia.com).

2. Sejarah Perkembangan Viktimologi
Pada awal perkembangannya, viktimologi baru mendapat perhatian dari kalangan ilmuwan terhadap persoalan korban dimulai pada saat Hans von Hentig pada Tahun 1941 menulis sebuah makalah yang berjudul “Remark on the interaction of perpetrator and victim.” Tujuh Tahun kemudian beliau menerbitkan buku yang berjudul The Criminal and his victim yang menyatakan bahwa korban mempunyai peranan yang menyatakan bahwa korban mempunyai peranan yang menentukan dalam timbulnya kejahatan.
Pada Tahun 1947 atau setahun sebelum buku von Hentig terbit, Mendelsohn menulis sebuah makalah dengan judul “New bio-psycho-sosial horizons: Victimology.” Pada saat inilah istilah victimology pertama kali digunakan. Setelah itu para sarjan-sarjana lain mulai melakukan studi tentang hubungan psikologis antara penjahat dengan korban, bersama H. Mainheim, Schafser, dan Fiseler. Setelah itu pada Tahun 1949 W.H. Nagel juga melakukan pengamatan mengenai viktimologi yang dituangkan dalam tulisannya dengan judul “de Criminaliteit van Oss, Gronigen.”, dan pada Tahun 1959 P.Cornil dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa si korban patut mendapatkan perhatian yang lebih besar dari kriminologi dan viktimologi. Pada Tahun 1977 didirikanlah World Society of Victimology. World Society of Victimology (WSV) dipelopori oleh Schneider dan Drapkin. Perubahan terbesar dari perkembangan pembentukan prinsip-prinsip dasar tentang perlindungan korban terwujud pada saat diadakannya kongres di Milan, pada tanggal 26 Agustus 1985 yang menghasilkan beberapa prinsip dasar tentang korban kejahatan dan penyalahgunaan kekuasaan yang selanjutnya diadopsi oleh Perserikatan Bangsa-Bansa pada tanggal 11 Desember 1985 dalam suatu deklarasi yang dinamakan Decleration of Basic Principle of Justice for Victims of Crime and Abuse Power.

3. Ruang Lingkup Viktimologi
Viktimologi meneliti topic-topik tentang korban, seperti: peranan korban pada terjadinya tindak pidana, hubungan antara pelaku dengan korban, rentannya posisi korban dan peranan korban dalam system peradilan pidana. Selain itu, menurut Muladi viktimologi merupakan studi yang bertujuan untuk :
a.       Menganalisis berbagai aspek yang berkaitan dengan korban;
b.      Berusaha untuk memberikan penjelasan sebab musabab terjadinya viktimisasi;
c.       Mengembangkan system tindakan guna mengurangi penderitaan manusia.
Menurut J.E. sahetapy ruang lingkup viktimologi “meliputi bagaimana seseorang (dapat) menjadi korban yang ditentukan oleh victim yang tidak selalu berhubungan dengan masalah kejahatan, termasuk pula korban kecelakaan, dan bencana alam selain dari korban kejahatan dan penyalahgunaan kekuasaan”.

B. Hubungan Kriminologi dan Viktimologi
Adanya hubungan antara kriminologi dan viktimologi sudah tidak dapat diragukan lagi, karena dari satu sisi Kriminologi membahas secara luas mengenai pelaku dari suatu kejahatan, sedangkan viktimologi disini merupakan ilmu yang mempelajari tentang korban dari suatu kejahatan. Seperti yang dibahas dalam buku Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan, karangan Dikdik M.Arief Mansur . Jika ditelaah lebih dalam, tidak berlebihan apabila dikatakan bahwa viktimologi merupakan bagian yang hilang dari kriminologi atau dengan kalimat lain, viktimologi akan membahas bagian-bagian yang tidak tercakup dalam kajian kriminologi. Banyak dikatakan bahwa viktimologi lahir karena munculnya desakan perlunya masalah korban dibahas secara tersendiri.
Akan tetapi, mengenai pentingnya dibentuk Viktimilogi secara terpisah dari ilmu kriminologi mengundang beberapa pendapat, yaitu sebagai berikut :
1.      Mereka yang berpendapat bahwa viktimologi tidak terpisahkan dari kriminologi, diantaranya adalah Von Hentig, H. Mannheim dan Paul Cornil. Mereka mengatakan bahwa kriminologi merupakan ilmu pengetahuan yang menganalisis tentang kejahatan dengan segala aspeknya, termasuk korban. Dengan demikian, melalui penelitiannya, kriminologi akan dapat membantu menjelaskan peranan korban dalam kejahatan dan berbagai persoalan yang melingkupinya.
2.      Mereka yang menginginkan viktimologi terpisah dari kriminologi, diantaranya adalah Mendelsohn. Ia mengatakan bahwa viktimologi merupakan suatu cabang ilmu yang mempunyai teori dalam kriminologi, tetapi dalam membahas persoalan korban, viktimologi juga tidak dapat hanya terfokus pada korban itu sendiri.
Khusus mengenai hubungan antara kriminologi dan hukum pidana dikatakan bahwa keduanya merupakan pasangan atau dwi tunggal yang saling melengkapi karena orang akan mengerti dengan baik tentang penggunaan hukum terhadap penjahat maupun pengertian mengenai timbulnya kejahatan dan cara-cara pemberantasannya sehingga memudahkan penentuan adanya kejahatan dan pelaku kejahatannya. Hukum pidana hanya mempelajari delik sebagai suatu pelanggaran hukum, sedangkan untuk mempelajari bahwa delik merupakan perbuatan manusia sebagai suatu gejala social adalah kriminologi.
J.E Sahetapy juga berpendapat bahwa kriminologi dan viktimologi merupakan sisi dari mata uang yang saling berkaitan. Perhatian akan kejahatan yang ada tidak seharusnya hanya berputar sekitar munculnya kejahatan akan tetapi juga akibat dari kejahatan, karena dari sini akan terlihat perhatian bergeser tidak hanya kepada pelaku kejahatan tetapi juga kepada posisi korban dari kejahatan itu. Hal ini juga dibahas oleh pakar hukum lainnya dalam memperhatikan adanya hubungan ini, atau setidaknya perhatian atas terjadinya kejahatan tidak hanya dari satu sudut pandang, apabila ada orang menjadi korban kejahatan, jelas terjadi suatu kejahatan, atau ada korban ada kejahatan dan ada kejahatan ada korban. Jadi kalau ingin menguraikan dan mencegah kejahatan harus memperhatikan dan memahami korban suatu kejahatan, akan tetapi kebiasaan orang hanya cenderung memperhatikan pihak pelaku kejahatan.
C. Korban
1. Pengertian Korban
Berbagai pengertian korban banyak dikemukakan baik oleh ahli maupun bersumber dari konvensi-konvensi internasional yang membahas mengenai korban kejahatan, sebagian diantaranya sebagai berikut .
a.       Arief Gosita
Menurutnya, korban adalah mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat tindakan orang lain yang mencari pemenuhan kepentingan diri sendiri dan orang lain yang bertentangan dengan kepentingan hak asasi pihak yang dirugikan.

b.      Ralph de Sola
Korban (victim) adalah “…person who has injured mental or physical suffering, loss of property or death resulting from an actual or attemted criminal offense commited by another..”
c.       Cohen
Cohen mengungkapkan bahwa korban (victim) adalah “Whose pain and suffering have been neglectedby the state while it spends immense resources to hunt down and punish the offender who responsible for that pain and suffering:”
d.      Z.P Zeparovic
Korban (victim) adalah  “… the person who are threatened, injured or destroyed by an actor or omission of another (mean, structure, organization, or institution) and consequently; a victim would be anyone who has suffered from or been theatened by a punisable act (not only criminal act but also another punisable acts as misdemeanors, economic offense, non fulfillment of work duties) or an accidents. Suffering may be caused by another man or another structure, where people are also involved.”
e.       Muladi
Korban (Victims) adalah orang-orang yang baik secara individual maupun kolektif telah menderita kerugian, termauk kerugian fisik atau mental, emosional, ekonomi, gangguan substansial terhadap hak-haknya yang fundamental, melalui perbuatan atau omisi yang melanggar hukum pidana di masing-masing negara, termasuk penyalahgunaan kekuasaan.
f.        Undang-Undang No.23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga.
“Korban adalah orang yang mengalami kekerasan dan/ atau ancaman kekerasan dalam lingkup rumah tangga.”
g.       Undang-Undang No.27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.
Korban adalah orang perseorangan atau kelompok orang yang mengalami penderitaan, baik fisik, mental, maupun emosional, kerugian ekonomi, atau mengalami pengabaian, pengurangan, atau perampasan hak-hak dasarnya, sebagai akibat pelanggaran hak asasi manusia yang berat, termasuk korban adalah ahli warisnya.
h.       Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Tata Cara Perlindungan Terhadap Korban dan Saksi dalam Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat.
Korban adalah orang perseorangan atau kelompok orang yang mengalami penderitaan sebagai akibat pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang memerlukan perlindungan fisik dan mental dari ancaman, gangguan, teror dan kekerasan pihak manapun.
i.         Deklerasi PBB dalam The Decleration of Basic Principles of Justice for Victims of Crime and Abuse Power 1985.
Victims means person who, individually or collectively, have suffered harm, including physical or mental injury, emotional suffering, economic loss or substansial impairment of their fundamental rights, through acts or omissions that are in violation of criminal laws operative within member states, including those laws proscribing criminal abuse power.
Dengan mengacu pada pengertian-pengertian korban di atas, dapat dilihat bahwa korban pada dasarnya tidak hanya orang perorangan atau kelompok yang secara langsung menderita akibat dari perbuatan-perbuatan yang menimbulkan kerugian/penderitaan bagi diri/kelompoknya, bahkan, lebih luas lagi termasuk didalamnya keluarga dekat atau tanggungan langsung dari korban dan orang-orang yang mengalami kerugian ketika membantu korban mengatasi penderitaannya atau untuk mencegah viktimisasi.
2. Tipilogi Korban Kejahatan
Tipilogi kejahatan dimensinya dapat ditinjau dari dua perspektif, yaitu:
a.       Ditinjau dari perspektif tingkat keterlibatan korban dalam terjadinya kejahatan. Melalui kajian perspektif ini, maka Ezzat Abdel Fattah menyebutkan beberapa tipilogi korban, yaitu;
1)      Nonparticipating victims adalah mereka yang menyangkal/menolak kejahatan dan penjahat tetapi tidak turut berpartisipasi dalam penanggulangan kejahatan.
2)      Latent or predisposed victims adalah mereka yang mempunyai karakter tertentu cenderung menjadi korban pelanggaran tertentu.
3)      Provocative victims adalah mereka yang menimbulkan kejahatan atau pemicu kejahatan.
4)      Particapcing victims adalah mereka yang tidak menyadari atau memiliki perilaku lain sehingga memudahkan dirinya menjadi korban.
5)      False victims adalah mereka yang menjadi korban karena dirinya sendiri.
b.      Ditinjau dari perspektif tanggung jawab korban itu sendiri maka Stepen Schafer mengemukakan tipilogi korban menjadi tujuh bentuk yaitu :
1)      Unrelated victims adalah mereka yang tidak ada hubungan dengan si pelaku dan menjadi korban karena memang potensial. Untuk itu, dari aspek tanggung jawab sepenuhnya berada di pihak korban.
2)      Proactive victims merupakan korban yang disebabkan peranan korban untuk memicu terjadinya kejahatan. Karena itu, dari aspek tanggung jawab terletak pada diri korban dan pelaku secara bersama-sama.
3)      Participacing victims hakikatnya perbuatan korban tidak disadari dapat mendorong pelaku melakukan kejahatan. Misalnya, mengambil uang di bank dalam jumlah besar yan tanpa pengawalan, kemudian dibungkus dengan tas plastik sehingga mendorong orang untuk merampasnya. Aspek ini pertanggungjawaban sepenuhnya ada pada pelaku.
4)      biologically weak victim adalah kejahatan disebabkan adanya keadaan fisik korban seperti wanita, anak-anak, dan manusia lanjut usia (manula) merupakan potensial korban kejahatan. Ditinjau dari pertanggungjawabannya terletak pada masyarakat atau pemerintah setempat karena tidak dapat memberi perlindunga kepada korban yang tidak berdaya.
5)      Socially weak victims adalah korban yang tidak diperhatikan oleh masyarakat bersangkutan seperti gelandangan dengan kedudukan sosial yang lemah. Untuk itu, pertanggungjawabannya secara penuh terletak pada penjahat atau masyarakat.
6)      Self victimizing victims adalah koran kejahatan yang dilakukan sendiri (korban semu) atau kejahatan tanpa korban. Untuk itu pertanggungjawabannya sepenuhnya terletak pada korban sekaligus sebagai pelaku kejahatan.
7)      Political victims adalah korban karena lawan polotiknya. Secara sosiologis, korban ini tidak dapat dipertnggungjawabkan kecuali adanya perubahan konstelasi politik (Lilik Mulyadi,2003:123-125).
c.       Selain pengelompokan diatas, masih ada pengelompokan korban menurut Sellin dan Wolfgang, yaitu sebagai berikut.
1)      Primary victimization, yaitu korban berupa individu perorangan (bukan kelompok).
2)      Secondary victimization, yaitu korban kelompok, misalnya badan hukum.
3)      Tertiary victimization, yaitu korban masyarakat luas.
4)      No victimiazation, yaitu korban yang tidak dapat diketahui, misalnya konsumen yang tertipu dalam menggunakan produksi.
3. Hak dan Kewajiban Korban
a. Hak-Hak Korban
Setiap hari masyarakat banyak memperoleh informasi tentang berbagai peristiwa kejahatan, baik yang diperoleh dari berbagai media massa maupun cetak maupun elektronik. Peristiwa-peristiwa kejahatan tersebut tidak sedikit menimbulkan bebagai penderitaan/kerugian bagi korban dan juga keluarganya.
Guna memberikan rasa aman dan nyaman bagi masyarakat dalam beraktivitas, tentunya kejahatan-kejahatan ini perlu ditanggulngi baik melalui pendekatan yang sifatnya preventif maupun represif, dan semuanya harus ditangani secara professional serta oleh suatu lembaga yang berkompeten.
Berkaitan dengan korban kejahatan, perlu dibentuk suatu lembaga yang khusus menanganinya. Namun, pertama-tama perlu disampaikan terlebih dahulu suatu informasi yang memadai hak-hak apa saja yang dimiliki oleh korban dan keluarganya, apabila dikemudian hari mengalami kerugian atau penderitaan sebagai akibat dari kejahatan yang menimpa dirinya.
Hak merupakan sesuatu yang bersifat pilihan ( optional ) artinya bisa diterima oleh pelaku bisa juga tidak, tergantung kondisi yang mempengaruhi korban baik yang sifatnya internal maupun eksternal.
Tidak jarang ditemukan seseorang yang mengalami penderitan (fisik, mental, atau materill) akibat suatu tindak pidana yang menimpa dirinya, tidak mempergunakan hak-hak yang seharusnya dia terima karena berbagai alasan, misalnya perasaan sakit dikemudian hari masyarakat menjadi tahu kejadian yang menimpa dirinya (karena kejadian ini merupakan aib bagi dirinya maupun keluarganya) sehingga lebih baik korban menyembunyikannya, atau korban menolak untuk mengajukan gati kerugian karena dikhawatikan prosesnya akan menjadi semakin panjang dan berlarut-larut yang dapat berakibat pada timbulnya penderitaan yang berkepanjangan.
Sekalipun demikian, tidak sedikit korban atau keluarganya mempergunakan hak-hak yang telah disediakan. Ada beberapa hak umum yang disediakan bagi korban atau keluarga korban kejahatan, meliputi :
1)      Hak untuk memperoleh ganti kerugian atas penderitaan yang dialaminya. Pemberian ganti kerugian ini dapat diberikan oleh pelaku atau pihak lainnya, seperti Negara atau lembaga khusu yang dibetuk untuk menangani masalah ganti kerugian korban kejahtan;
2)      Hak untuk memperoleh pembinaan dan rehabilitasi;
3)      Hak untuk memperoleh perlindungan dari ancaman pelaku;
4)      Hak untuk memperoleh bantuan hukum;
5)      Hak untuk memperoleh kembali hak (harta) miliknya;
6)      Hak untuk memperoleh akses atas pelayanan medis;
7)      Hak untuk diberitahu bila pelaku kejahatan akan dikeluarkan dari tahanan sementara, atau bila pelaku buron dari tahanan;
8)      Hak untuk memperoleh informasi tentang penyidikan polisi berkaitan dnegan kejahatan yang menimpa korban;
9)      Hak atas kebebasan pribadi/kerahasiaan pribadi, seperti merahasiaakan nomor telepon atau identitas korban lainnya.
Berdasarkan Pasal 10 dari Undang-Undang No.23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT), korban berhak mendapatkan :
1)      Perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga social, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan ;
2)      Pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis;
3)      Penanganan secara khusu berkaitan dengan kerahasiaan korban;
4)      Pendampingan oleh pekerja social dan bantuan hukum pada setiap tingkat proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
5)      Pelayanan bimbingan rohani.
Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa No.40/A/Res/34 Tahun 1985 juga telah menetapkan beberapa hak korban (saksi) agar lebih mudah memperoleh akses keadilan, khususnya dalam proses peradilan, yaitu :
1)      Compassion, respect and recognition;
2)      Receive information and explanation about the progress of case;
3)      Provide information;
4)      Providing propef assistance;
5)      Protection of privacy and physical safety;
6)      Restitution and compensation;
7)      To access to the mechanism of justice system.

b. Kewajiban Korban
Sekalipun hak-hak korban telah tersedia secara memadai, mulai dari hak atas bantuan keuangan (financial) hingga hak atas pelayanan medis dan bantuan hukum, tidak berarti kewajiban dari korban kejahatan diabaikan eksistensinya karena melalui peran korban dan keluarganya diharapkan penaggulangan kejahatan dapat dicapai secara signifikan.
Untuk itu ada beberapa kewajiban umum dari korban kejahatan, antara lain :
1)      Kewajiban untuk tidak melakukan upaya main hakim sendiri/balas dendam terhadap pelaku (tindakan pembalasan);
2)      Kewajiban untuk mengupayakan pencegahan dari kemungkinan terulangnya tindak pidana;
3)      Kewajiban untuk memberikan informasi yang memadai mengenai terjadinya kejahatan kepada pihak yang berwenang;
4)      Kewajiban untuk tidak mengajukan tuntutan yang terlalu berlebihan kepada pelaku;
5)      Kewajiban untuk menjadi saksi atas suatu kejahatan yang menimpa dirinya, sepanjang tidak membahayakan bagi keluarga dan keluarganya;
6)      Kewajiban untuk membantu berbagai pihak yang berkepentingan dalam uapaya pnanggulangan kejahata;
7)      Kewajiban untuk bersedia dibina atau membina diri sendiri untuk tidak menjadi korban lagi

D. Tindak Pidana
1. Istilah Tindak Pidana
Para pembentuk Undang-Undang kita telah menggunakan istilah “strafbaarfeit” untuk menyebutkan “tindak pidana” di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tanpa memberikan penjelasan mengenai apa maksud sebenarnya dari sitilah “strafbaarfeit” tersebut. Sehingga banyak menimbulkan pengertian mengenai “strafbaarfeit”. Menurut Adami Chazawi, “tindak pidana dapat dikatakan berupa istilah resmi dalam perundang-undangan Negara kita”(Adami Chazawi, 2002:67). Dalam hampir seluruh perundang-undangan kita menggunakan istilah tindak pidana untuk merumuskan suatu tindakan yang dapat diancam dengan suatu pidana tertentu.
Berikut merupakan pendapat para ahli hukum mengenai istilah tindak pidana, antara lain :
a.       Vos merumuskan bahwa suatu starfbaar feit itu adalah kelakuan manusia yang diancam pidana oleh peraturan perundang-undangan.
b.      Moeljanto berpendapat “perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa melanggar larangan tersebut”.
c.       Menurut P.A.F. Lamintang, pembentuk undang-undang kita telah menggunakan perkataan ”starfbaar feit” untuk menyebutkan apa yang kita kenal sebagai ”tidak pidana” di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Perkataan ”feit” itu sendiri dalam Bahasa Belanda berati ”sebagian dari suatu kenyataan” sedangkan ”starfbaar ” berati ”dapat dihukum”, hingga secara harfiah perkataan ”starfbaar feit” dapat diterjemahkan sebagai ”sebagian dari suatu kenyataan yang dapat dihukum” yang sudah barang tentu tidak tepat karena kita ketahui bahwa yang dapat di hukum adalah manusia sebagai pribadi dan bukan kenyataan, perbuatan, ataupun tindakan.
d.      Sudarto dalam bukunya Hukum Pidana I (1990:38) mengemukakan perbedaan tentang istilah perbuatan jahat sebagai berikut :
1)      Perbuatan jahat sebagai gejala masyarakat dipandang secara konkret sebagaimana terwujud dalam masyarakat (Social VerschinjenselErecheinung, fenomena), ialah perbuatan manusia yang memperkosa atau menyalahi norma-norma dasar dari masyarakat dalam konkreto, ini adalah pengertian “perbuatan jahat” dalam arti kriminologis.
2)      Perbuatan jahat dalam arti hukum pidana (strafrechtelijk misdaadsbegrip), ialah sebagaimana terwujud in abstracto dalam peraturan-peraturan pidana. Untuk selanjutnya dalam pelajaran hukum pidana ini yang akan dibicarakan adalah perbuatan jahat dalam arti yang kedua tersebut.
Perbuatan yang dapat dipidana itu masih dapat dibagi menjadi :
a)      Perbuatan yang dilarang oleh undang-undang;
b)      Orang yang melanggar aturan tersebut.


2. Pengertian Tindak Pidana
Berikut merupakan pendapat para ahli hukum mengenai pengertian tindak pidana, antara lain :
a.       Kami memberikan pendapat bahwa “delik” itu mengandung perbuatan yang mengandung perlawanan hak yang dilakukan dengan salah dosa yang sempurna akal budinya dan kepada siapa perbuatan patut dipertanggung jawabkan”.
b.      Dalam website resmi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) memberikan definisi tindak pidana. Tindak Pidana memiliki pengertian perbuatan setiap orang/subjek hukum yang berupa kesalahan dan bersifat melanggar hukum ataupun tidak sesuai dengan undang-undang yang berlaku.
Dari berbagai pengertian di atas dapat kita ambil kesimpulan bahwa pengertian dari tindak pidana itu sendiri adalah suatu perbuatan yang dilakukan oleh seseorang dimana orang tersebut dapat dimintai pertanggung jawaban atas segala tindakannya tersebut. Dimana tindakan atau perbuatan yang dilakukannya tersebut adalah perbutan yang melawan dan melanggar ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Sehingga perbuatan dapat diancam dengan suatu pemidanaan yang bertujuan untuk memberikan efek jera bagi individu yang melakukan perbuatan tersebut.
Menurut pandangan para ahli bahwa dalam terjadinya tindak pidana dibedakan antara perbuatan pidana dan pertanggungjawaban pidana. Terdapat dua pandangan yakni, aliran monistis dan dualistis. Walaupun meempunyai kesan bahwa setiap perbuatan yang bertentangan dengan UU selalu diikuti dengan pidana, namun dalam unsur-unsur itu terdapat kesan perihal syarat-syarat (subjektif) yang melekat pada orangnya untuk dapat dijatuhkannya pidana.
Menurut bunyi batasan yang dibuat Vos, dapat ditarik unsur-unsur tindak pidana adalah :

a.       Kelakuan manusia
b.      Diancam dengan pidana
c.       Dalam peraturan perundang-undangan
Dapat dilihat bahwa unsur-unsur dari 3 batasan penganut paham dualisme tersebut, tidak ada perbedaan, ialah bahwa tindak pidana itu adalah perbuatan manusia yang dilarang, dimuat dalam UU, dan diancam pidana bagi yang melakukannya. Dari unsur-unsur tersebut tidak menyangkut diri si pembuat atau dipidananya pembuat, semata-mata mengenai perbuatannya.
Jika dibandingkan dengan pendapat penganut paham monisme, memang tampak berbeda. Penulis mengambil dua rumusan saja yang dimuka telah dikemukakan, ialah Jonkers dan Schravendijk.
Dari batasan yang dibuat Jonkers (penganut paham monisme) dapat dirinci unsur-unsur tindak pidana adalah:
a.       Perbuatan;
b.      Melawan hukum;
c.       Kesalahan;
d.      Dipertanggungjwabkan.
Sedangkan Schravendijk dalam batasan yang dibuatnya secara panjang lebar itu, jika dirinci terdapat unsur-unsur sebagai berikut:
a.       Kelakuan;
b.      Bertentangan dengan keinsyafan hukum;
c.       Diancam dengan hukuman;
d.      Dilakukan oleh orang;
e.       Dipersalahkan / kesalahan.
Walaupun rincian dari tiga rumusan diatas tampak berbeda-beda, namun pada hakekatnya ada persamaannya, ialah: tidak memisahkan antara unsur-unsur mengenai perbuatannya dengan unsur yang mengenai diri orangnya.

3. Unsur-Unsur Tindak Pidana
Menurut Moeljanto, unsur tindak pidana dapat yaitu :
a.       Perbuatan (manusia);
b.      Yang memenuhi rumusan dalam undang-undang (syarat formil);
c.       Bersifat mealawan hukum (syarat materiil);
Syarat formil harus ada, karena hanya asas legalitas yang tersimpul dalam Pasal 1 KUHP. Syarat materiil juga harus ada, karena perbuatan itu harus betul-betul dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang tak boleh atau tak patut dilakukan; oleh karena bertentangan dengan atau menghambat akan tercepainya tata dalam pergaulan masyarakat yang dicita-citakan oleh masyarakat itu. Moeljanto berpendapat, bahwa “kesalahan dan kemampuan bertanggung jawab dari si pembuat tidak masuk sebagai unsur perbuatan pidana, karena hal-hal tersebut melekat pada orang yang berbuat”.
Menurut Sudarto tentang unsur tindak pidana yang dikemukakan oleh Moeljatno,  Jadi untuk memungkinkan adanya pemidanaan secara wajar, apabila diikutu pendirian Prof. Moeljatno, maka tidak cukup apabila sesorang itu telah melakukan perbuatan pidana belaka; di samping itu pada orang tersebut harus ada kesalahan dan kemampuan bertanggung jawab.
Menurut D.Simons, unsur-unsur strarfbaarfeit adalah:
a.       Perbuatan manusia (positif atau negatif, berbuat atau tidak berbuat atau membiarkan);
b.      Diancam dengan pidana (stratbaar gesteld);
c.       Melawan hukum (onrechmatig);
d.      Dilakukan dengan kesalahan (met schuld in verband stand);
e.       Oleh orang yang mampu bertanggung jawab (toerekeningsvatbaar persoon).
Simons menyebutkan adanya unsur objektif dan unsur subjektif dari strafbaarfeit.

a.       Unsur objektif antara lain :
1)      Perbuatan orang;
2)      Akibat yang kelihatan dari perbuatan itu;
3)      Mungkin ada keadaan tertentu yang menyertai perbuatan itu seperti dalam Pasal 281 KUHP sifat “di muka umum”
b.      Unsur subjektif yaitu :
1)      Orang yang mampu bertanggung jawab;
2)      Adanya kesalahan (dolus atau culpa);
Perbuatan harus dilakukan dengan kesalahan. Kesalahan ini dapat berhubungan dengan akibat dari perbuatan atau dengan keadaan-keadaan mana perbuatan itu dilakukan.
Menurut Sudarto, unsur tindak pidana yang dapat disebut sebagai syarat pemidanaa antara lain :
a.       Perbuatannya, syarat ;
1)      Memenuhi rumusan undang-undang ;
2)      Bersifat melawan hukum (tidak ada alasan pembenar).
b.      Orangnya (kesalahannya), syarat :
1)      Mampu bertanggung jawab :
2)      Dolus atau culpa (tidak ada alasan pemaaf).
Perbuatan manusia saja yang boleh dilarang, yang melarang adalah aturan hukum. Berdasarkan kata majemuk perbuatan pidana, maka pokok pengertiaan ada pada perbuatan itu, tapi tidak dipisahkan dengan orangnya. Ancaman (diancam) dengan pidana menggambarkan bahwa tidak mesti perbuatan itu dalam kenyataannya benar-benar dipidana. Pengertian diancam pidana adalah pengertian umum, yang artinya pada umumnya dijatuhi pidana.
Dari rumusan R. Tresna, tindak pidana terdiri dari unsur-unsur, yakni :
a.       Perbuatan / rangkaian perbuatan (manusia);
b.      Yang bertentangan dengan Peraturan perundang-undangan;
c.       Diadakan tindakan penghukuman.

E. Pencurian
1. Pengertian Pencurian
Menurut kamus besar bahasa Indonesia, arti dari kata “curi” adalah mengambil milik orang lain tanpa izin atau dengan tidak sah, biasanya dengan sembunyi-sembunyi. Sedangkan arti “pencurian” proses, cara, perbuatan.
Pengertian pencurian menurut hukum beserta unsur-unsurnya dirumuskan dalam Pasal 362 KUHP, adalah berupa rumusan pencurian dalam bentuk pokoknya yang berbunyi:
barang siapa mengambil suatu benda yang seluruhnya atau sebagian milik orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama 5 Tahun atau denda paling banyak Rp.900,00-
Untuk lebih jelasnya, apabila dirinci rumusan itu terdiri dari unsur-unsur objektif (perbuatan mengambil, objeknya suatu benda, dan unsur keadaan yang melekat pada benda untuk dimiliki secara sebagian ataupun seluruhnya milik orang lain) dan unsur-unsur subjektif (adanya maksud, yang ditujukan untuk memiliki, dan dengan melawan hukum).
Unsur-unsur pencurian adalah sebagai berikut :
a.       Unsur-Unsur Objektif berupa :
1)      Unsur perbuatan mengambil (wegnemen)
Unsur pertama dari tindak pidana pencurian ialah perbuatan “mengambil” barang. “Kata “mengambil” (wegnemen) dalam arti sempit terbatas pada menggerakan tangan dan jari-jari, memegang barangnnya, dan mengalihkannya ke lain tempat”.
Dari adanya unsur perbuatan yang dilarang mengambil ini menunjukan bahwa pencurian adalah berupa tindak pidana formill. Mengambil adalah suatu tingkah laku psoitif/perbuatan materill, yang dilakukan dengan gerakan-gerakan yang disengaja. Pada umumnya menggunakan jari dan tangan kemudian diarahkan pada suatu benda, menyentuhnya, memegang, dan mengangkatnya lalu membawa dan memindahkannya ke tempat lain atau dalam kekuasaannya. Unsur pokok dari perbuatan mengambil harus ada perbuatan aktif, ditujukan pada benda dan berpindahnya kekuasaan benda itu ke dalam kekuasaannya. Berdasarkan hal tersebut, maka mengambil dapat dirumuskan sebagai melakukan perbuatan terhadap suatu benda dengan membawa benda tersebut ke dalam kekuasaanya secara nyata dan mutlak.
Unsur berpindahnya kekuasaan benda secara mutlak dan nyata adalah merupaka syarat untuk selesainya perbuatan mengambil, yang artinya juga merupakan syarat untuk menjadi selesainya suatu perbuatan pencurian yang sempurna.
2)      Unsur benda
Pada objek pencurian ini sesuai dengan keterangan dalam Memorie van toelichting (MvT) mengenai pembentukan Pasal 362 KUHP adalah terbatas pada benda-benda bergerak (roerend goed). Benda-benda tidak bergerak, baru dapat menjadi objek pencurian apabila telah terlepas dari benda tetap dan menjadi benda bergerak. Benda bergerak adalah setiap benda yang berwujud dan bergerak ini sesuai dengan unsur perbuatan mengambil. Benda yang bergerak adalah setiap benda yang sifatnya dapat berpindah sendiri atau dapat dipindahkan (Pasal 509 KUHPerdata). Sedangkan benda yang tidak bergerak adalah benda-benda yang karena sifatnya tidak dapat berpindah atau dipindahkan, suatu pengertian lawandari benda bergerak.
3)      Unsur sebagian maupun seluruhnya milik orang lain
Benda tersebut tidak perlu seluruhnya milik orang lain, cukup sebagian saja, sedangkan yang sebagian milik pelaku itu sendiri. Contohnya seperti sepeda motor milik bersama yaitu milik A dan B, yang kemudian A mengambil dari kekuasaan B lalu menjualnya. Akan tetapi bila semula sepeda motor tersebut telah berada dalam kekuasaannya kemudian menjualnya, maka bukan pencurian yang terjadi melainkan penggelapan (Pasal 372 KUHP).
b.      Unsur-Unsur Subjektif berupa :
1)      Maksud untuk memiliki
Maksud untuk memiliki terdiri dari dua unsur, yakni unsur pertama maksud (kesengajaan sebagai maksud atau opzet als oogmerk), berupa unsur kesalahan dalam pencurian, dan kedua unsur memilikinya. Dua unsur itu tidak dapat dibedakan dan dipisahkan satu sama lain. Maksud dari perbuatan mengambil barang milik orang lain itu harus ditujukan untuk memilikinya, dari gabungan dua unsur itulah yang menunjukan bahwa dalam tindak pidana pencurian, pengertian memiliki tidak mengisyaratkan beralihnya hak milik atas barang yang dicuri ke tangan pelaku, dengan alasan. Pertama tidak dapat mengalihkan hak milik dengan perbuatan yang melanggar hukum, dan kedua yang menjadi unsur pencurian ini adalah maksudnya (subjektif) saja. Sebagai suatu unsur subjektif, memiliki adalah untuk memiliki bagi diri sendiri atau untuk dijadikan barang miliknya. Apabila dihubungkan dengan unsur maksud, berarti sebelum melakukan perbuatan mengambil dalam diri pelaku sudah terkandung suatu kehendak (sikap batin) terhadap barang itu untuk dijadikan sebagai miliknya.
2)      Melawan hukum
Menurut Moeljatno, unsur melawan hukum dalam tindak pidana pencurian yaitu Maksud memiliki dengan melawan hukum atau maksud memiliki itu ditunjukan pada melawan hukum, artinya ialah sebelum bertindak melakukan perbuatan mengambil benda, ia sudah mengetahui dan sudah sadar memiliki benda orang lain itu adalah bertentangan dengan hukum. Karena alasan inilah maka unsur melawan hukum dimaksudkan ke dalam unsur melawan hukum subjektif. Pendapat ini kiranya sesuai dengan keterangan dalam MvT yang menyatakan bahwa, apabila unsur kesengajaan dicantumkan secara tegas dalam rumusan tindak pidana, berarti kesengajaan itu harus ditujukan pada semua unsur yang ada dibelakangnya.

ekstradisi indonesia dan australia


PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA INDONESIA DAN AUSTRALIA

Ekstradisi indonesia australia. Contoh perjanjian ekstradisi. Makalah ekstradisi. Pendapat masyarakat indonesia dengan ekstradisi dengan australia. Tangganapan terhadap extradisi dengan australia. Contoh perjanjian ekstradisi indonesia. Ekstradisi indonesia dengan australia.

Pengertian kerjasama ekstradisi adalah. Perjanjian ekstradisi dari australia. Isi ektradisi indonesia australia. Perjanjian ekstradisi adalah contoh kerjasama di bidang. Undang undang pengesahan perjanjian bilateral indonesia dengan kanada. Perjanjian indonesia dengan canada dan undang undangnya. Contoh perjanjian ekstradisi antara indonesia dengan australia.
Perjanjian indonesia dengan jepang dan undang undangnya. Persoalan ekstradisi dengan australia. Perjanjian ekstradisi australia. Perjanjian ekstradisi antara indonesia dengan australia. Dokumen perjanjian ekstradisi. Contoh asli perjanjian ekstradisi pemerintah malaysia dan republik indonesia. Satu contoh perjanjian ekstradisi antara indonesia dengan australia.
Jelaskan perjanjian ekstradisi. Perjanjian antara indonesia dengan rrc yang bilateral serta pasal pasal nya. Apa itu perjanjian ekstradisi indonesia australia. Pengesahan perjanjian ekstradisi antara indonesia dan australia. Ektradisi indonesia dan australia. Kerugian perjanjian ekstradisi indonesia dan china. Isi perjanjian ekstradisi indonesia dengan philipina.
Kerja sama internasional antara indonesia malaysia dalam pemberantasan tindak pidana narkotika. Perjanjian politik indonesia australia. Perjanjian ekstradisi indonesia dengan australia. Perjanjian bilateral antar negara yang telah disahkan. Perjanjian ekstradisi indonesia australia. Kerugian perjanjian bilateral. Perjanjian ekstradisi antara indonesia dengan china.

Contoh perjanjian pertahanan indonesia dan australia. Mengapa indonesia perlu mengadakan perjanjian ekstradisi. Perjanjian ekstradisi indonesia dengan kanada. Isi perjanjian ekstradisi antara negara indonesia dengan cina. Undang undang tentang ekstradisi di indonesia. Ekstradisi indonesia malaysia tahun 1994. Yang dimaksud hubungan dan kerjasama 8 negara dalam pengesahan bantuan timbal balik dalam masalah pidana.
Negara yang tidak mempunyai hubungan ekstradisi dengan indonesia. Uu tentang perjanjian ekstradisi indonesia korea terkait biaya biaya. Pasal dalam uu perjanjian ekstradisi antara indonesia dengan malaysia yang mengatur tentang biaya biaya. Negara negara yang melakukan ekstradisi dengan indonesia. Perjanjian ekstradisi indonesia dengan china. Perjanjian ekstradisi ri australia. Isi perjanjian ekstradisi indonesia dengan australia.
Nama negar yang sudah melakukan perjanjian ekstradisi dengan indonesia. Nama negara yg melakukan perjanjian ekstradisi dengan indonesia. Contoh naskah perjanjian hubungan diplomatik antara 2 negara. Perjanjian bilateral indonesia di bidang ekstradisi. Makalah tentang ekstradisi. Kenapa masalah ekstradisi menjadi masalah yang mengganggu hubungan antar negara. Kenapa masalah ekstradisi menjadi masalah yang akan mengganggu hubungan antara negara jelaskan.
Bentuk perjanjian ekstradisi. Cara cara mengajukan ekstradisi. Uu bilateral indonesia dengan. Undang undang perjanjian bilateral dan multilateral. Makalah ekstradisi kejahatan politik.. Makalah ekstradisi tahanan politik. Melarikan diri indonesia malaysia hukuman mati ekstradisi.
Ekstradisi terhadap tahanan pidana politik. Artikel tentang ruu ekstradisi. Perjanjian hukum australia dan indonesia. Perjanjian bilateral indonesia malayasia dan undang undang nya. Undang undang ektradisi australia. Perjanjian ekstradisi antara indonesia dengan autralia. Ekstradisi australia indonesia.
Hukum kelautan perjanjian ekstradisi. Kewajiban bagi negara yang saling mengekstradisi. Makalah ekstradisi politik indonesia. Perjanjian ekstradisi antara dua negara. Pengesahan perjanjian bilateralindonesia china. Isi ekstradisi indonesia australia. Contoh negara tidak mengekstradisi.

Contoh perjanjian ekstradisi tentukan sistemnya. Sanksi ekstradisi terhadap warga negara indonesia. Isi perjanjian ekstradisi antara indonesia dan australia. Undang undang perjanjian bilateral indonesia. Nama negara negara yang melaksanakan kerjasama hak ekstradisi dengan indonesia. Nama negara negara yang bekerjasama hak ekstradisi dengan indonesia. Tugas makalah ekstradisi hukum internasional.
Bagaimana ekstradisi dapat diberikan. Australia dan indonesia menandatangani perjanjian untuk mengatasi perdagangan narkoba. Contoh perjanjian bilateral indonesia yang sudah berakhir. Perjanjian antara indonesia kanada. Pengesahan perjanjian indonesia dan australia. Kerjasama ekstradisi indonesia australia. Undang undang pengesahan perjanjian bilateral indonesia dengan.

contoh makalah KDRT


JUMAT, 21 maret 2012

Analisis Korban pada Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)

I.PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Kejahatan tidak mungkin ada tanpa adanya pelaku dan korban. Victimologi sebagai bidang ilmu yang lebih menyoroti korban maka victimisasi kriminal terhadap perempuan, akan lebih menyoroti perempuan sebagai korban suatu kejahatan. Perempuan adalah mahluk yang dianggap mempunyai fisik dan psikis yang lemah sehingga selalu bergantung pada orang lain, dianggap bodoh, dianggap pasti akan kalah jika berhadapan dengan kekuatan dan kekuasaan karena tidak ada yang melindung. (Sumber: SAGUNG PUTRI M.E PURWANI.VICTIMISASI KRIMINAL TERHADAP PEREMPUAN).

Perempuan sebagai korban memang sering terjadi mengingat perempuan pada kodratnya merupakan makhluk yang lemah, maka harus dilindungi baik harkat dan martabatnya. Di negara Indonesia telah diatur beberapa peraturan untuk menjaga Hak asasi manusia khususnya pada perempuan agar tidak selalu menjadi korban seperti Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, UU No. 26 Tahun 2000 tentang Peradilan HAM, serta UU tentang perlindungan saksi dan korban, serta Undang-undang Nomor 23Tahun 2004 tentang Penghapuan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
Pemerintah mengatur hal ini untuk melindungi setiap warga negaranya. Penulis mengambil judul makalah “Analisis korban pada KDRT” ini karena penulis melihat banyak sekali kejadian, peristiwa atau kasus yang terjadi mengenai KDRT ini. Seperti kasus yang terjadi di Bondowoso, Esa Rusiana diketahui tewas di dalam kamarnya dengan luka memar di beberapa bagian tubuhnya. Luka memar itu diduga akibat penganiayaan yang dilakukan Tolak Arif, suaminya sendiri (Liputan 6.com 30/03/2010 14:13). Ini merupakan salah satu contoh kasus dari sekian banyak kasus yang terjadi di negeri ini.

1.2. Rumusan Masalah
Dari  pendahuluan diatas penulis dapat mengambil suatu rumusan masalah yaitu:
1.       Apakah sebenarnya KDRT itu dan apa hubungannya dengan viktimologi?
2.       Faktor apakah yang menyebabkan terjadinya KDRT dan siapa saja yang sering menjadi korban?
3.       Bagaimana solusi agar tidak terjadi KDRT dalam keluarga?



II. METODE PENULISAN

2.1. Viktimologi
Perlu dijelaskan terlebih dahulu perumusan viktimologi yang akan digunakan untuk membahas masalah kekerasan terhadap perempuan dalam tulisan ini. Viktimologi adalah suatu pengetahuan ilmiah/ studi yang mempelajari suatu viktimisasi (kriminal) sebagai suatu permasalahan manusia yang merupakan suatu kenyataan sosial (Arif Gosita:2004 ; 38).
Dilihat dari ruang lingkup seperti tersebut diatas, jika dibandingkan antara viktimologi dengan kriminologi, maka dapat diketahui bahwa keduanya mempunyai obyek studi yang sama, yaitu pelaku dan korban. Sedangkan perbedaannya yaitu viktimologi lebih menekankan pada korban sedangkan kriminologi pada pelaku. Sehingga lebih lanjut yang dibahas dalam tulisan ini adalah perempuan sebagai korban dalam tindak kekerasan atau kejahatan, walaupun sebenarnya tidak ada timbul viktimisasi kriminal (viktimitas) atau kejahatan (kriminalitas) tanpa adanya pihak korban dan pelaku. Karena masing-masing merupakan kompenen suatu interaksi (mutlak) yang hasil interaksinya adalah suatu viktimisasi kriminal (kriminalitas).
Viktimisasi kriminal kekerasan adalah tindakan-tindakan yang melawan hukum yang dilakukan dengan sengaja oleh seseorang terhadap orang lain, baik untuk kepentingan diri sendiri atau orang lain dan yang menimbulkan penderitaan mental, fisik dan sosial.
Sumber: SAGUNG PUTRI M.E PURWANI. VICTIMISASI KRIMINAL TERHADAP PEREMPUAN).

2.2. Tindak pidana kekerasan dan bentuk-bentuknya
Yang dimaksud dengan tindak kekerasan disini adalah tindak pidana yang telah dirumuskan dalam Kitab Undang-Undang Pidana (KUHP) sebagai berikut:
Ø  Pasal 89: perbuatan membuat seseorang dalam keadaan pingsan.
Ø  Pasal 285: perkosaan: memaksa seorang perempuan untuk melakukan persetubuhan dengan dirinya     diluar perkawinan.
Ø  Pasal 289: memaksa orang lain untuk melakukan tindakan-tindakan melanggar kesusilaan atau membiarkan orang lain untuk melakukan tindakan melanggar kesusilaan.
Ø  Pasal 335: memaksa orang lain melakukan sesuatu, tidak melakukan sesuatu atau membiarkan sesuatu melawan hukum.
Ø  Pasal 351, 353, 354, 355, (penganiayaan berat)
Ø  Pasal 352: (penganiayaan ringan)
(Sumber: Arif Gosita:2004; 43)
2.3. Pengertian  victim (korban)
Seperti yang diungkapkan oleh Von Hentig dalam bukunya “The Criminal and His Victim” yang dikutip dari Arif Gosita: bahwa korban sangat berperanan dalam timbulnya kejahatan karena si korban tidak hanya sebab dan dasar proses terjadinya kriminalitas tetapi juga memainkan peranan penting dalam usaha mencari kebenaran, dan mengerti masalah kejahatan, delikuensi dan deviasi. (Arif Gosita: 2004;63)
Menurut The Declaration of Basic Principles of Justice for Victims of Crime and Abuse of Power, Perserikatan Bangsa-Bangsa (1985), bahwa yang dimaksud dengan korban (victim) adalah orang-orang yang secara individual atau kolektif telah mengalami penderitaan, meliputi penderitaan fisik atau mental, penderitaan emosi, kerugian ekonomis atau pengurangan substansial hak-hak asasi melalui perbuatan-perbuatan atau pembiaraan-pembiaraan (omisionaris) yang melanggar hukum pidana yang berlaku dinegara-negara anggota yang meliputi juga peraturan hukum yang lmealrang penyalahgunaan kekuasaan. (Arif Gosita: 2004; 44).
Pengertian korban dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Pasal 1 Butir ke 3 yaitu “Korban adalah orang yang mengalami kekerasan dan/atau ancaman kekerasan dalam lingkup rumah tangga”. Korban yang akan dibahas dalam makalah ini adalah korban KDRT.



III. PEMBAHASAN

3.1. Pengertian KDRT dan hubungannya  dengan viktimologi

Sebelum kita membahas lebih jauh tentang korban dalam KDRT sebaiknya penulis memaparkan pengertian KDRT (kekerasan Dalam Rumah Tangga). Pengertian KDRT tercantum  pada UU No.23 tahun 2004  ini yaitu pada pasal 1 butir ke 1 “Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga”.
Dari pembahasan UU diatas dapat diketahui bahwa dalam UU telah mengatakan yaitu setiap perbuatan yang merugikan orang lain dalam keluarga yang dimaksud dengan KDRT. 
Setiap Insan manusia yang berkeluarga sangat mendambakan kehidupan yang harmonis dengan dipenuhi rasa cinta dan kasih sayang antar anggota keluarga. Keluarga yang damai, tentram dan bahagia merupakan tujuan setiap insan dalam menjalani kehidupan perkawinannya, namun tidak setiap keluarga dapat menjalani kehidupan rumah tangganya dengan penuh cinta, kasih sayang dalam suasana kedamaian dan kebahagiaan. Tak jarang kehidupan rumah tangga justru diwarnai oleh adanya kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), baik kekerasan fisik, psikis, maupun kekerasan ekonomi.
Fenomena KDRT sebenarnya bukan sesuatu yang baru, bahkan sudah ada sejak jaman dulu hanya saja saat ini perkembangan kasus-kasusnya semakin bervariasi. Hal ini juga diikuti oleh kesadaran dari korban untuk melaporkan kepada aparat hukum atau lembaga yang memiliki kepedulian tinggi terhadap kasus kekerasan rumah tangga (anak dan perempuan). Data dari Kementrian Kordinator Kesejahteraan Rakyat menunjukkan bahwa hingga bulan Mei 2007 terdapat 22 ribu kasus kekerasan rumah tangga yang dilaporkan ke kepolisian. Berdasarkan beberapa laporan dari berbagai daerah di tanah air, kasus KDRT menunjukkan peningkatan yang signifikan.
Dari data data diatas penulis akan menghubungkan bagaimanakah hubungannya dengan viktimologi. Pengertian viktimologi telah dijelaskan penulis pada BAB II metode penulisan. Nah, Apakah sebenarnya hubungan antara kasus KDRT dengan viktimologi.
Menurut hemat penulis,  dalam Ilmu Hukum pidana, mempelajari tentang korban dalam suatu tindak pidana dalam hal ini KDRT  sangat penting karena korban merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kejahatan. Maka untuk mempelajari suatu tindak pidana itu terjadi para pakar hukum pidana mempelajari tentang viktimologi sebagai cara untuk meminimalisir terjadinya suatu tindak pidana.
Dengan cara melihat faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya korban seperti mengapa rong itu yang menjadi korban, atau mengapa orang itu yang selalu menjadi korban maka perlu juga mengetahui atau mempelajari ilmu tentang korban sebagai tujuan untuk meminimalisir berbagai tindak pidana dalam hal ini KDRT.
Benjamin Mendelsohn sebagai penggagas pertama istilah viktimologi, dalam sebuah makalah berjudul “New Bio-psycho-social Horizon; Victimology” memberikan batasan mengenai korban dengan upaya pendekatan korban dari segi biologis, psikologis dan sosial, namun beberapa pakar memberikan kritik terhadap pendapat ini karena Mendelsohn dalam memberikan pendekatan masih menggunakan penelitian terhadappetindak pelanggaran (penjahat) yang mana masih menggunakan perspektif kriminologi yang dianggap sudah agak kuno. Von Hentig memberikan kontribusi keilmuan melalui tulisannya pada 1941 berjudul Remarks on the Interaction of Prepertator and Victim” dan “The Criminal and His Victim (1948) yang memberikan gambaran hubungan antara Pelaku Kejahatan dengan Korbannya.
Dalam melihat hubungan antara kejahatan dengan korban, JE. Sahetapy mempunyai pendapat yang berbeda. JE Sahetapy menawarkan suatu istilah ”viktimitas” berasal dari kata ”victimity”, dimana Sahetapy menginginkan adanya pembatasan hubungan antara masalah korban dengan faktor kejahatan.”Jadi kalau kita beranjak dari pangkal tolak viktimitas, maka dengan sendirinya masalah korban tidak perlu selalu dihubungkan dengan faktor kejahatan” .
Jadi viktimologi sangat berhubungan langsung dengan setiap kejahatan dalam hal ini KDRT yang menimbulkan korban langsung dan beberapa korban tidak langsung sebagai objek dari kejahatan itu sendiri seperti yang akan dijelaskan selanjutnya dalam makalah ini.

3.2. Faktor yang menyebabkan terjadinya KDRT dan siapa saja yang menjadi korban
Permasalahan KDRT meningkat disetiap tahunnya, ini merupakan keprihatinan kita bersama
Fenomena kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang terus meningkat akhir – akhir ini terjadi karena berbagai faktor, dikutip dari situs Kepolisian Negara Indonesia, AKBP Drs. YUDIAWAN SRIYANTO, Psi diantaranya:
1.       Masih rendahnya kesadaran untuk berani melapor dikarenakan dari masyarakat sendiri yang enggan untuk melaporkan permasalahan dalam rumah tangganya, maupun dari pihak- pihak yang terkait yang kurang mensosialisasikan tentang kekerasan dalam rumah tangga, sehingga data kasus tentang (KDRT) pun, banyak dikesampingkan ataupun dianggap masalah yang sepele. Masyarakat ataupun pihak yang tekait dengan KDRT, baru benar- benar bertindak jika kasus KDRT sampai menyebabkan korban baik fisik yang parah dan maupun kematian, itupun jika diliput oleh media massa. Banyak sekali kekerasan dalam rumah tangga ( KDRT) yang tidak tertangani secara langsung dari pihak yang berwajib, bahkan kasus kasus KDRT yang kecil pun lebih banyak dipandang sebelah mata daripada kasus – kasus lainnya.
  1. Masalah budaya, Masyarakat yang patriarkis ditandai dengan pembagian kekuasaan yang sangat jelas antara laki –laki dan perempuan dimana laki –laki mendominasi perempuan. Dominasi laki – laki berhubungan dengan evaluasi positif terhadap asertivitas dan agtresivitas laki – laki, yang menyulitkan untuk mendorong dijatuhkannya tindakan hukum terhadap pelakunnya. Selain itu juga pandangan bahwa cara yang digunakan orang tua untuk memperlakukan anak – anaknya , atau cara suami memperlakukan istrinya, sepenuhnya urusan mereka sendiri dapat mempengaruhi dampak timbulnya kekerasan dalam rumah tangga ( KDRT).
  2. Faktor Domestik Adanya anggapan bahwa aib keluarga jangan sampai diketahui oleh orang lain. Hal ini menyebabkan munculnya perasaan malu karena akan dianggap oleh lingkungan tidak mampu mengurus rumah tangga. Jadi rasa malu mengalahkan rasa sakit hati, masalah Domestik dalam keluarga bukan untuk diketahui oleh orang lain sehingga hal ini dapat berdampak semakin menguatkan dalam kasus KDRT.
  3. Lingkungan. Kurang tanggapnya lingkungan atau keluarga terdekat untuk merespon apa yang terjadi, hal ini dapat menjadi tekanan tersendiri bagi korban. Karena bisa saja korban beranggapan bahwa apa yang dialaminya bukanlah hal yang penting karena tidak direspon lingkungan, hal ini akan melemahkan keyakinan dan keberanian korban untuk keluar dari masalahnya. 
Permasalahan sosial tentang kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) secara langsung maupun tidak langsung akan berdampak pada si korban baik secara fisik maupun psikis korban tersebut. Akibat penganiayaan fisik yang jelas menderita sakit badaniah contoh: penganiayaan yang dilakukan oleh suami di Surabaya yang menyiramkan air panas ke muka istrinya yang berakibat fatal wajah istrinya tersebut menjadi melepuh. Penganiayaan – penganiayaan yang juga dilakukan oleh orang tua kepada anak – anaknya juga sering kita dengra dan lihat mengakibatkan anka tersebut menderita patah, memar maupun yang sangat yang lebih marah sampai meninggal dunia.
Dari contoh – contoh diatas merupakan dampak – dampak fisik akibat dari KDRT yang secara tidak langsung akan juga berdampak pada kondisi psikologis para koraban KDRT, (penganiayaan anak yang dilakukan orang tua) akibat yang dilakukan oleh orang tua merupakan pengalaman yang sangat negatif bagi anak. Dengan demikian, tidak mengejutkan bila banyak di antara anak –anak mengalami gangguan serius dan berlangsung dalam jangka panjang pada kesehatan psikologis, fungsi dengan hubungan sosial, dan perilaku mereka secara umum. Self Esteem yang rendah, kecemasan, perilaku merusak diri (self destructive), dan ketidakmampuan menjalin hubungan yang saling mempercayai dengan orang lain adalah efek – efek penganiayaan fisik pada masa kanak – kanak yang lazim dilaporkan (Milner dan Crouch, 1999). Pada dampak penganiayaan pada pasangan yang sering terjadi dalam kehidupan rumah tangga, selain menimbulkan akibat fisik badaniah ( cedera yang serius. Lebih tingginya insiden penyakit fisik yang berhubungan dengan stress) dan efek yang bersifat ekonomis. Diantara efek – efek psikologis penganiayaan pasangan, depresi, kecemasan, dan self esteem yang negatif telah diidentifikasi sebgai respon yang lazim dijumpai. Selain itu, penganiayaan pasangan memiliki efek adversif terhadap hubungan antar pribadi secara umum.
Perempuan juga sering menjadi korban karena perempuan sebagai korban berada pada daerah yang rawan atau karena dianggap tidak akan berani melakukan perlawanan sebagai pembalasan yang memadai sehingga kelemahan ini sering dimanfaatkan seenaknya oleh sipelaku yang merasa dirinya lebih kuat, lebih berkuasa dari pada pihak korban. Seperti misalnya dalam keluarga, perempuan sebagai istri sering menjadi korban kekerasan yang dilakukan oleh suami karena istri dianggap sangat bergantung pada suami. Hal inilah yang dipakai sebagai salah satu alasan diundangkannya Undang-Undang Republik Indonesia No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), dan kekerasan yang dimaksudkan disini tidak hanya kekerasan fisik tetapi juga kekerasan psikis, kekerasan seksual atau juga penelantaran rumah tangga. Demikian pula halnya dengan kondisi perempuan sebagai buruh, pembantu rumah tangga ataupun sebagai pegawai atau karyawan yang secara individual mempunyai kedudukan yang lebih lemah dibandingkan dengan pihak majikan sehingga majikan dapat melakukan tindakan seenaknya seperti penganiayaan, pebudakan dan perampasan hak asasinya, yang semua tindakan ini adalah termasuk kejahatan atau viktimisasi kriminal.


Dari penjelasan diatas penulis dapat menarik suatu kesimpulan bahwa faktor terjadinya KDRT dalam keluarga yaitu karena diantaranya takut bahwa aib keluarga ketahuan oleh orang lain dan yang paling penting bahwa masih kurangnya kesadaran dari masyarakat untuk melapor masalah ini ke kantor polisi. Padahal apabila dilihat dari dampaknya akan menimbulkan dampak yang sangat berbahaya terutama bagi keluarga itu sendirinya khususnya dalam hal ini yang menjadi korban yaitu perempuan dan anak-anaknya.

3.3. Solusi agar tidak terjadi KDRT dalam keluarga
Dengan kata lain solusi untuk mencegah agar tidak terjadi KDRT yang menimbulkan korban dalam keluarga dan hubungan berumah tangga maka ada beberapa sulusinya diantaranya yaitu:
1.       Membangun kesadaran bahwa persoalan KDRT adalah persoalan sosial bukan individual dan merupakan pelanggaran hukum yang terkait dengan HAM.
2.       Sosialiasasi pada masyarakat tentang KDRT adalah tindakan yang tidak dapat dibenarkan dan dapat diberikan sangsi hukum. Dengan cara mengubah pondasi KDRT di tingkat masyarakat pertama–tama dan terutama membutuhkan adanya konsensus bahwa kekerasan adalah tindakan yang tidak dapat diterima.
3.       Mengkampanyekan penentangan terhadap penayangan kekerasan di media yang mengesankan kekerasan sebagai perbuatan biasa, menghibur dan patut menerima penghargaan.
4.       Peranan Media massa. Media cetak, televisi, bioskop, radio dan internet adalah macrosystem yang sangat berpengaruh untuk dapat mencegah dan mengurangi kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Peran media massa sangat berpengaruh besar dalam mencegah KDRT bagaimana media massa dapat memberikan suatu berita yang bisa merubah suatu pola budaya KDRT adalah suatu tindakan yang dapat melanggar hukum dan dapat dikenakan hukuman penjara sekecil apapun bentuk dari penganiayaan.
5.       Mendampingi korban dalam menyelesaikan persoalan (konseling) serta kemungkinan menempatkan dalam shelter (tempat penampungan) sehingga para korban akan lebih terpantau dan terlindungi serta konselor dapat dengan cepat membantu pemulihan secara psikis.
Dari uraian diatas, maka buat mereka yang sebagai korban KDRT atau kita sebagai warga masyarakat harus menyadari bahwa KDRT membawa akibat – akibat negatif yang berkemungkinan mempengaruhi perkembangan korban di masa mendatang dengan banyak cara. Dengan demikian, perhatian utama harus diarahkan pada pengembangan berbagai strategi untuk mencegah terjadi penganiayaan dan meminimalkan efeknya yang merugikan.


IV. KESIMPULAN

4.1. Kesimpulan
Dari uraian pembahasan diatas pnulis dapat menarik kesimpulan bahwa:
1.       Perhatian hukum terhadap korban tindak pidana sebagaimana diatur dalam KUHAP, UU Penghapusan KDRT, dan beberapa UU yang mengatur tentang Hak Asasi Manusia  belum mendapat perhatian optimum, tetapi sebaliknya perhatian pengaturan hukum atas dasar penghormatan terhadap HAM dari pelaku tindak pidana cukup banyak.
2.       Pengertian mengenai kepentingan korban dalam kajian viktimologi, tidak saja hanya di pandang dari perspektif hukum pidana atau kriminologi saja, melainkan berkaitan pula dengan aspek keperdataan;
3.       Perempuan dan anak-anak kerap menjadi korban KDRT ini.

4.2. Saran
Melihat dari faktor penyebab terjadinya KDRT maka petugas yang berwewenang untuk menangani masalah ini harus lebih aktif lagi untuk menjalankan tugasnya menghapuskan kekerasan dalam rumah tangga sesuai dengan dikeluarkannya UU Penghapusan kekerasan dalam rumah tangga, karena korban yang timbul akibat dari perbuatan ini sangat membutuhkan perlindungan dari Negara. Pemerintah juga wajib mengsosialisasikan tentang UU ini untuk menciptakan masyarakat yang taat pada hukum sehingga mencapai tujuan bersama yaitu kesejahteraan umum berdasarkan keadilan.




V. DAFTAR PUSTAKA

1.       SAGUNG PUTRI M.E PURWANI. VICTIMISASI KRIMINAL TERHADAP PEREMPUAN
2.       TRI HERMINTADI. KEPENTINGAN KORBAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA DARI SUDUT PANDANG VIKTIMOLOGI.
3.       AKBP Drs. YUDIAWAN SRIYANTO, Psi. ADA APA DENGAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA?
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga